Bakpia Jogja: Dari Dapur Peranakan ke Ikon Oleh-Oleh
lensaperjalanan.com – Bakpia Jogja bukan sekadar camilan manis yang kerap diburu wisatawan sebagai oleh-oleh. Di balik tekstur lembut dan isian kacang hijau yang khas, tersimpan jejak panjang akulturasi budaya antara masyarakat Tionghoa dan Jawa. Kue mungil ini awalnya berasal dari tradisi kuliner Tionghoa yang dikenal sebagai “pia”, namun mengalami transformasi rasa, bentuk, hingga fungsi sosial ketika beradaptasi dengan selera lokal di Yogyakarta. Dari dapur-dapur komunitas peranakan hingga menjadi ikon kuliner khas Jogja, perjalanan bakpia mencerminkan betapa kuatnya pengaruh budaya dalam membentuk identitas makanan.
Dari Minyak Babi ke Resep Ramah Muslim
Awalnya, bakpia dibuat dengan menggunakan minyak babi, sesuai resep tradisional Tionghoa. Namun, seiring meningkatnya jumlah konsumen Muslim, resep pun disesuaikan. Kini, banyak produsen bakpia beralih ke minyak nabati agar lebih dapat diterima oleh semua kalangan.
Dua Legenda: Bakpia Lestari dan Bakpia Niti Gurnito
Di balik popularitas bakpia Jogja, terdapat dua nama besar: Bakpia Lestari dan Bakpia Niti Gurnito. Meski berbeda nama, keduanya memiliki akar sejarah yang saling berkaitan. Mbah Niti, pendiri Bakpia Niti Gurnito, awalnya menyewakan kios kepada Bakpia Lestari. Setelah melihat potensi besar, ia didorong untuk membuat bakpia sendiri dengan resep dan tenaga kerja yang sama dari Bakpia Lestari.
Masa Kejayaan di Era 60-90an
Puncak kejayaan kedua produsen ini terjadi antara tahun 1960 hingga pertengahan 1990-an. Produksi mencapai ratusan kilo terigu per hari, dengan pesanan datang dari berbagai kota. Kini, produksi lebih terbatas dan berdasarkan sistem pre-order, kecuali saat musim libur panjang seperti Lebaran dan Natal-Tahun Baru.
Dari Arang ke Gas: Evolusi Peralatan Produksi
Dulu, proses memanggang masih menggunakan arang, yang mahal dan boros. Kini, peralihan ke gas dianggap lebih efisien dan hemat. Meski begitu, alat-alat dapur tradisional seperti tungku tahun 1939 dan dandang raksasa masih digunakan untuk mempertahankan cita rasa klasik.
Kisah Penjaja Keliling dan Tuduhan Mistis
Kesuksesan bakpia di masa lampau tak lepas dari peran penjaja keliling yang membawa dagangan hingga ke pelosok. Namun, di tengah kesuksesan itu, sempat muncul tuduhan bahwa mereka menggunakan penglaris atau pesugihan karena lonjakan popularitas yang begitu cepat.
Akulturasi Budaya Lewat Cita Rasa
Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta melihat bakpia sebagai hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Isian daging yang dulunya umum diganti dengan kacang hijau, cokelat, atau keju. Hal ini mencerminkan keterbukaan masyarakat Jogja terhadap budaya luar tanpa kehilangan jati diri lokal.
Harapan: Kembali ke Rasa Asli
Kini, banyak generasi muda mulai mencari cita rasa bakpia zaman dulu. Produsen seperti keluarga Mbah Niti berharap tren ini bisa menjadi semacam “gerakan kembali ke selera asal” yang mengangkat kembali warisan kuliner otentik khas Jogja.